Rabu, 23 Januari 2008

RESENSI BUKU
“MENJADI MANUSIA PEMBELAJAR”
(Oleh : Prof. Nusantara Aktivis KPI STAR, disampaikan pada Sidang Buku/SIBUK)

Sewaktu membaca buku dan bacaan lainnya, Anda memperkuat posisi Pembelajar dan menjalani proses kepemimpinan apabila Anda membuat sejumlah pilihan. Saya sarankan ada delapan pilihan, dalam konteks freedom to choose dan cause and effect yang saya akronimkan : R_E_A_L_I_T_A_S

RESPONSI – Menjadi penonton yang antusias
Sewaktu membaca, Anda dapat memilih menjadi penonton yang bersemangat. Response dari seorang penonton yang antusias ialah menghilangkan sikap mencari-cari kesalahan atau kelemahan dalam tulisan. Sebaliknya, penonton memilih menyenagi sebanyak mungkin persepsi, keyakinan, pengharapan, komitmen dan pengalaman dari sang penulis.

EMPATI – Menjadi peminat yang berempati
Pilihan lain sewaktu membaca ialah menyatakan kesan positif sebagai seorang peminat, dengan menghormati aspek yang berkenan dalam hati. Dan apabila ada hal yang tidak berkenan, Anda tetap dapat menghormati dengan membuat pilihan :”sepakat untuk berbeda pendapat” dengan penulis atau dengan siapa saja yang ditulis penulis.

ASPIRASI – Menjadi pengharap yang mendapatkan manfaat
Seorang pembaca dapat memilih halaman mana saja yang akan dibaca. Dimulai dari daftar isi buku atau keterangan siapa penulis, kemudian dibolak-balik menemukan ringkasan, lalu memutuskan membaca bagian-bagian tertentu. Anda mempunyai freedom to choose bagian yang akan dibaca. Sebagai pengharap Anda ingin menemukan sebanyak mungkin gagasan atau kiat-kiat yang bermanfaat. Sebagai pembelajar, pilihlah untuk mengagumi apa yang Anda temukan.

LIPUTAN LENGKAP – Haus akan prinsip yang benar
Ada saatnya seorang pembaca memilih mengumpulkan semua gagasan dengan membaca dari halaman pertama dan konsisten sampai halaman terakhir. Pembaca memilih untuk menjadi seorang yang haus, ikut berkepentingan dengan penulis dan menghargai visi-misi serta membuat komitmen mewujudkannya.

INISIATIF – Inisiator ikut terlibat
Pembelajar yang membangun kepribadian yang komit, akan memilih menjadi inisiator ikut terlibat mewujudkan visi-misi. Sebagai pembelajar memilih mempercayai untuk dilaksanakannya gagasan-gagasan. Anda akan menyenangi, menghormati, mengagumi dan menghargai prinsip dan konsep yang ditulis penulis. Dan sekarang Anda memilih ikut di dalam pemberdayaan diri serta berani menyatakan perbedaan jika memang ada.

TANTANGAN – Pelaksana tugas
Seorang pembelajar yang menjalani jalur dan proses kepemimpinan melaksanakan tugas dengan mentaati pedoman prinsip yang dipercayai benar dan adil. Karakter kepemimpinan yang sejati selalu memilih untuk mentaati dengan akal sehat dan dengan hati nurani yang manusiawi. Seorang pembelajar yang membangun karakter kepemimpinan, siap mengumpulkan informasi dan memahami kebutuhan yang harus dipenuhi untuk melaksanakan transformasi organisasi dan masyarakat.

AL HASIL – Penanggung jawab
Kepemimpinan yang sejati mnemiliki cirri-ciri sebagai penanggung jawab. Pembelajar yang mengembangkan karakter kepemimpinan memilih mendukung secara bertanggung jawab visi-misi, prinsip dan system yang disepakati. Pembelajar juga menjadi seorang visionaries, sekarang yang “hamil” dan akan melahirkan hasil yang pasti dapat dipertanggungjawabkan.

SUMBANGSIH – Pejuang panggilan kemanusiaan
Seorang pembelajar –seumur hidup- di tengah-tengah persoalan hidup sehari-hari, memilih berjuang dan tidak melupakan tugas, tanggung jawab, dan panggilan hidupnya sebagai manusia ciptaan Tuhan. Seorang pembelajar tetap melaksanakan komitmen sebagai pemimpin yang sejati.



TRITUGAS, TANGGUNG JAWAB DAN PANGGILAN KEMANUSIAAN
Manusia dilahirkan dengan tiga tugas pokok, yakni:
Menjadi manusia pembelajar yang belajar terus menerus di “Sekolah Besar Kehidupan” nyata untuk semakin memanusiawikan dirinya.
Menjadi pemimpin sejati dengan cara mengambil prakarsa dan menerima tanggung jawab untuk menciptakan masa depan bagi dirinya, lingkungannya, perusahaan atau organisasi di mana ia bekerja.
Bertumbuh menjadi guru bagi bangsanya, bagi bangsa-bangsa, dan bagi umat manusia di “Sekolah Besar Kehidupan”.


Bagian Pertama
AKAR-AKAR PEMIKIRAN

I. Belajar (kembali) dari nol – mencari akar permasalahan bangsa

Sebab utama ketersesatan pendidikan dari tingkat dasar hingga universitas, dan kemudian berlanjut di dunia kerja, berakar pada ketidak mampuan berpikir secara lateral, kreatif, dan “liar” dalam arti tidak terpolakan.
Winarno Surakhmad berhasil merumuskan akar persoalan dasar yang menjadi biang keladi dari semua bentuk impotensi, pemasungan, pengkerdilan, dan ‘penjajahan’ manusia-manusia Indonesia oleh bangsa sendiri. Ia dengan telak menunjuk akar persoalan yang memporakporandakan negeri ini : ketidakjelasan (atau ketiadaan) visi-misi pendidikan nasional dan pengacauan serta pemisahan makna pendidikan (educating) menjadi sekadar pengajaran (teaching) dan pelatihan (training).

Sekadar Contoh

Seorang engineer yang lulus Summa cum laude dari dunia barat dan mampu membuat pesawat terbang, dibiarkan diangkat menjadi super menteri sampai wakil presiden. Dan saat Indonesia menukik tajam ia dinaikan menjadi pilot atas nama kontitusi yang tidak jelas lagi konstituennya karena maknanya telah diperkosa sesuka hati oleh elit politik pada masa itu.

Selama beberapa decade kita terpesona oleh opium atau candu berbentuk angka pertumbuhan ekonomi yang fantastis, yang mengiming-imingi bahwa kita akan segera menjadi New Asian Tiger.

Cetak biru perekonomian bangsa kita serahkan kepada mafia Berkeley, para jenius yang tulus hati dan tanpa sadar diperbudak oleh system dan struktur maha manajer yang mengendalikan repulik ini.

Kita menyaksikan semakin banyak jurnalisme telanjang bulat, benar-benar tanpa sehelai benang pun, sebab katanya pabrik tekstil kita telah hancur untuk menutupi rasa malu para manajer bangsa yang pernah mengaku dirinya sebagai pemimpin bahkan negarawan.


Sekolah dan Universitas

Kita agaknya belum cukup sadar bahwa ketika pendidikan telah kita perkosa habis-habisan maknanya menjadi sekadar sekolah dan universitas, atau sekadar pengajaran (termasuk penataran) dan pelatihan, maka irrasionalitas, immoralitas, dan agresivitas adalah buah-buah dari pohon yang kita tanam sendiri.

Kita kurang menyadari bahwa sekolah dan universitas pada awalnya dibentuk untuk menikmati proses pembelajaran di sela-sela waktu senggang, dan bukan meniadakan waktu senggang serta kesempatan bermain, ber-rekreasi (menciptakan kembali).

Kita, sadar atau tidak, telah mengikuti antagonisme pendidikan “gaya bank” : guru mangajar- mjurid belajar, guru tahu segalanya – murid tidak tahu apa-apa, guru berpikir – murid dipikirkan, guru bicara – murid mendengarkan, guru mengatur – murid diatur, guru bertindak – murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya, guru memilih dan memaksakan pilihannya – murid menuruti, guru adalah subjek proses belajar – murid adalah objeknya.

Memandang ke depan

Seandainya sekolah, universitas, pengajaran dan pelatihan di dunia kerja itu kita kembalikan kepada (kita selaraskan dengan) kehidupan nyata, maka apakah yang seharusnya kita pelajari?
Mungkin ini:
· Kita akan belajar, bahwa tidaklah penting apa yang kita miliki, tetapi yang penting adalah siapa diri kita ini sebenarnya (sebagai pribadi, sebagai kelompok, sebagai organisasi, sebagai bangsa dan Negara Indonesia).
· Kita akan belajar, bahwa lingkungan dapat mempengaruhi pribadi kita, tetapi kita harus bertanggung jawab untuk apa yang telah kita lakukan.
· Kita akan belajar, bahwa dua manusia dapat melihat hal-hal yang sama persis, tetapi terkadang dari sudut pandang yang amat berbeda, dan itu manusiawi.
· Kita akan belajar, bahwa mengampuni diri sendiri dan orang lain itu perlu kalau tidak mau dikuasi perasaan bersalah terus menerus.
· Kita akan belajar, bahwa butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan dan hanya beberapa detik saja untuk menghancurkannya.
· Kita akan belajar, bahwa kita tidak dapat memaksa orang lain mencintai kita, kita hanya dapat melakukan sesuatu untuk orang yang kita cintai.
· Kita akan belajar, bahwa kritik yang tulus dari seorang lawan lebih berharga dari pada pujian palsu seorang kawan atau kader jenggot.
· Kita akan belajar, bahwa sebaik-baiknya sahabat dan pasangan itu, mereka poasti pernah melukai perasaan kita dan untk itu kita harus belajar memaafkannya.
· Kita akan belajar, bahwa tidak ada yang instanm atau serba cepat di dunia ini, semua butuh proses dan pertumbuhan, kecuali kita ingin sakit hati dan dikecewakan.
· Kita akan belajar, bahwa kita harus memilih apakah kita menguasai sikap dan emosi, atau membisarkan sikap dan emosi itu menguasai kita.
· Kita akan belajar, bahwa kita punya hak untuk marah tanpa harus menjadi beringas terhadap sesama.
· Kita akan belajar, bahwa kata-kata manis tanpa tindakan adalah kemunafikan psiko spiritual.

Singkatnya kita akan belajar, bahwa tugas pertama manusia dalam proses menjadi dirinya yang sebenarnya adalah menerima tanggung jawab untuk menjadi pembelajar bukan hanya di gedung sekolah dan perguruan tinggi, tetapi terlebih penting lagi dalam konteks kehidupan.



II. Manusia sebagai pembelajar

Tugas, tanggung jawab, dan panggilan pertama seorang manusia adalah menjadi pembelajar. Sedangkan pelajaran pertama dan terutama yang perlu dipelajarinya adalah belajar menjadikan dirinya semanusiawi mungkin.

Belajar Tentang, Belajar (melakukan), dan Belajar menjadi

Ignas Kleden pernah menjelaskan perbedaan antara belajar tentang dan belajar. Belajar tentang hanya berarti mengetahui sesuatu sedangkan belajar pada dasarnya berarti mempraktikan sesuatu. Bila Kleden berbicara soal belajar tentang (learning how to think), dan belajar dalam arti praktik (learning how to do), maka yang perlu kita tambahkan dalam konteks manusia pembelajar yang berproses memanusiawikan dirinya adalah belajar menjadi (learning to be).

Diantara teori (knowledge) dan praktik (skill), terdapat semacam jembatan yang justru amat penting untuk dapat memanusiawikan diri seseorang, yakni ia harus belajart menjadi : yakni dengan merenungi hakikat dirinya terlebih dahulu, mencari jati dirinya, menghayati keberadaannya sebagai “apa” dan “ siapa”.

Manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan yang dibekali kemampuan untuk belajar tentang (pengajaran) agar ia ia dapat belajar menjadi (pembelajaran) dengan cara belajar (pelatihan).

Mendefinisikan Manusia

Sesungguhnya diri manusia itu bukanlah “yang ini” atau “yang itu”. Diri manusia adalah “semuanya” itu, mencakup semua pengertian itu. Manusia adalah makhluk pembelajar yang berproses untuk menjadi semuanya itu, human being yang being human.

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang berpotensi untuk pertama-tama belajar tentang dirinya, kemudian berusaha belajar menjadi dirinya itu, dengan cara belajar mengekspresikan potensinya ke dunia luar (inside out).

Pembelajar, Pemimpin dan Guru

Siapakah pemimpin itu? Semua orang adalah pemimpin. Akan tetapi yang dimaksud adalah ternyata menunjuk pada “potensi” (human being) dan belum “aktualisasi” being human. Karena itu potensi kepemimpinan dalam diri manusia itu harus diaktualisasikan keluar, direalisasikan, dinyatakan, dijadikan faktual.

Proses aktualisasi adalah belajar tentang (mengetahui diri), belajar menjadi (merenungkan dirinya), dan belajar (praktik).

Tugas pertama manusia adalah menjadi pembelajar (becoming a learner, learning individual) dengan proses pembelajaran itu ia dapat mengaktualisasikan dirinya, sehingga menjadi apa yang disebut “pemimpin” (becoming a leader, yang menciptakan learning organization), menjadi pemimpin dapat dikatakan sebagai panggilan tugas kemanusiaan yang kedua. Lalu ketika seseorang disebut-sebut sebagai “pemimpin besar” (a great leader) dapat dinamakan sebagai menjadi guru (becoming a guru, yang menciptakan learning society).




Definisi Manusia Pembelajar

Manusia pembelajar adalah setiap orang (manusia) yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting, yakni : pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti “siapakah aku?”, “dari manakah aku datang?”, “kemanakah aku akan pergi?”, apakah yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?” dan “kepada siapa aku harus percaya?” dan kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang “Bukan dirinya”..

Mencari sendiri

Tak ada pengajaran dan pelatihan yang dapat membuat seseorang menjadi dirinya sendiri. Yang ada mungkin hanyalah guru sejati, yakni mereka yang justru dengan tegas mengatakan bahwa hal itu harus dipelajari sendiri.


III. Visi Pembelajaran

Pada tahap pertama, pembelajaran membuka pintu gerbang kemungkinan untuk menjadi manusia dewasa dan mandiri. Pembelajaran memungkinkan seorang anak manusia berubah dari “tidak mampu” manjadi “mampu”, atau dari “tidak berdaya” menjadi “sumber daya”. Tanpa pembelajaran semua itu tidak mungkin.

Proses pembelajaran atau pendidikan memungkinkan seseorang menjadi lebih manusiawi (being humanize) sehingga disebut dewasa dan mandiri. Itulah visi atau tujuan dari proses pembelajaran.

Perbedaan antar kanak-kanak (child) dengan orang dewasa (adult) dapat diringakas dalam satu kata : kemampuan (ability). Kemampuan ini umumnya dikaitkan dengan sedikitnya tiga hal berikut : pengetahuan (know-what, knowledge), sikap (know-why, attitude), dan ketrampilan (know-how, skill).

Filsuf Herb sherperd menjabarkan kehidupan manusia itu di sekitar emapat nilai, yakni: perspektif (spiritual), otonomi (mental/psikogikal), keterkaitan (social emosional), dan tonus (fisik).

George Sheehan menguraikan menjadi empat peran : menjadi binatang yang baik (fisik-biologis), pengukir yang baik (mental-psikologis), teman yang baik ( social-emosional), dan orang suci ( rohani-spiritual).

Bertumbuh menjadi dewasa dan mandiri berarti semakin mengenal diri, semakin jujur dengan diri sendiri, semakin otentik dan semakin unit tak terbandingkan.

Kedewasaan dan Kebelumdewasaan

Dalam bahasa hukum positif di Indonesia, dijelaskan tentang ketidakdewasaan (immaturity), yakni mereka yang belum berusia 21 tahun atau belum kawin, dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali.

Covey mendefinisikan kedewasaan sebagai keseimbangan antara courage (keberanian) dan consideration (pertimbangan). Manusia yang bertindak secara berani tanpa disertai pertimbangan yang seksama adalah ceroboh atau nekad. Manusia yang terlalu banyak pertimbangan (hati-hati) dan kurang menunjukan keberanian adalah jenis manusia no action talk only. Terlebih lagi manusia yang kurang berani sekaligus kurang pertimbangan, ia juga tidak dapat dikatakan dewasa. Manusia dewasa jika ia berani sekaligus penuh pertimbangan pada saat bersamaan.

Kedewasaan berasal dari proses pembelajaran (belajar menjadi). Proswes pembelajaran memungkinkan seorang manusia mengalami tranformasi diri, dari belum/tidak mampu menjadi mampu atau dari ketergantungan (dependence) menjadi mandiri (independence).

Sebagian besar manusia tidak mendisiplinkan dirinya untuk tetap belajar tanpa henti. Sebagian besar manusia berhenti belajar setelah “merasa dewasa”.

Besar tetapi kerdil

Dengan merasa dewasa seperti itu, maka proses “pembodohan” dan bahkan “pembinatangan” (dehumanisasi) dimulai. Jakob Sumardjo pernah mengingatkan dengan pepatah yang menyatakan bahwa “tidak belajar satu hari berarti mundur satu hari”.

Sekolah dan universitas ternyata “sukses” dalam satu hal : mencetak manusi-manusia yang menjadi tua (growing older), tetapi tidak pernah sungguh-sungguh menjadi dewasa (growing up).


IV. Pembelajaran, Pengajaran dan Pelatihan

Kerancuan sistem pembelajaran kita, baik di sekolah dan universitas, bahkan sampai ke tempat orang bekerja berakar pada penyamaan secara sembrono beberapa hal yang dianggap esensial berbeda.

Jacob Sumardjo pernah mengingatkan bahwa manusia “hidup untuk belajar” dan bukan “belajar untuk hidup”. Menyamakan “belajar untuk hidup” dengan “hidup untuk belajar”, atau ketidakmampuan untuk membedakan keduanya merupakan salah satu persoalan dasar dalam masyarkat kita.

“Belajar untuk hidup” berkaitan dengan visi pelatihan, sedangkan “hidup untuk belajar” berkaitan dengan visi pembelajaran atau pendidikan. Keduanya penting dan harus diselaraskan, bukan dipertentangkan. “Belajar untuk hidup” adalah learning how to do, sedangkan “hidup untuk belajar” adalah learning to be.

Pembelajaran bukan pelatihan

Pelatihan adalah soal manajemen yang dapat dipelajari lewat kursus manajemen konvensional. Akan tetapi pendidikan dan pembelajaran adalah soal kepemimpinan dan tidak ada sekolah dan kursusnya kecuali kehidupan nyata itu sendiri.

Pelatihan bertanggung jawab untuk membuat orang siap pakai, siap memangku jabatan menjadi manager, karena mahir memanajemeni benda-benda, tetapi bukan orang, singkatnya pelatihan berurusan dengan praktik dengan belajar melakukan (learning how to do).

Pembelajaran bertanggung jawab untuk ‘melahirkan’ pemimpin sejati, manusia-manusia yang siap menjadi dirinya sendiri, juga siap belajar karena telah melewati proses belajar bagaimana belajar (learning how to learn), juga sudah belajar bagaimana berurusan dengan orang-orang, menjalin hubungan antar subjek (learning how to live together).

Pembelajaran bukan pengajaran

Pendidikan diambil dari kata latin e-durace, arti sejatinya adalah “menggiring ke luar”. Pengajaran, yakni proses transfer pengetahuan atau usaha mengembangkan dan ‘mengeluarkan’ potensi intelektualitas dari dalam diri manusia.

Pengajaran itu menyangkut soal teori, sementara pendidikan itu sepenuhnya soal potensi. Pengajaran itu soal belajar tentang, sementara pendidikan adalah soal belajar menjadi.

Kerabuspandangan

Penyamaan secara sembrono atau ketidakmampuan untuk membedakan antara pembelajaran, pengajaran, dan pelatihan, menyebabkan impotensi dan inovasi dalam melaksanakan peran-peran sebagai guru, pengajar, dan pelatih.

Catatan dan ringkasan

Pengajaran kita perlukan untuk dapat memiliki dan memanajemeni pengetahuan (knowledge management), menjadi manusia yang unggul. Pembelajaran kita perlukan untuk dapat membentuk karakter, menumbuhkan budi pekerti, dan menjadi manusia otentik. Pelatihan kita perlukan untuk dapat mengembangkan kepribadian, ketrampilan, kesiappakaian (siap kerja), mengekspresikan karakter menjadi nyata dan berguna secara praktis bagi kehidupan bersama yang saling bergantung (interdependence).


V. Pembelajar, Pemimpin dan Guru

Pembelajar belajar, pemimpin memimpin, dan guru mendampingi pembelajar agar mempersiapkan diri mereka menjadi pemimpin berikutnya.

Visi dasar atau tujuan umujm dari proses pembelajaran, pengajaran, dan pelatihan, pada esensinya adalah mendampingi manusia sedini mungkin untuk secara bertahap memanusiawikan dirinya agar menjadi dewasa dan mandiri, dan kemudian membina hubungan saling bergantung dalam proses megaktualisasikan seluruh potensinya menjadi manusia seutuhnya (fully human).

Proses pembelajaran, pengajaran, dan pelatihan itu dapat dibedakan dalam tiga tahap yang oleh Stephen R. covey disebut sebagai kontinum kedewasaan (maturity continum) yakni bergerak dari tahap bergantung (dependence) menuju tahap mandiri (independence) dan memuncak pada tahap kesaling bergantungan (interdependence).

Membedakan proses pembelajaran dengan mengambil ilustrasi tahapan-tahapan yang biasa dikenal dalam dunia pendidikan konvensional, yakni; tingkat dasar, menuju tingkat menengah, dan kemudian memsuki tingkat tinggi.

Ketiga proses tersebut dibedakan berdasarkan tiga peran dan panggilan kemanusiaan (the three roles of humanity calling) yakni, menjadi pembelajar (becoming a learner), lalu menjadi pemimpin (becoming a leader) dan kemudian menjadi guru (becoming a guru). Ketiganya merupakan proses menjadi atau mengada (to be) dan tidak dapat dibeli atau dimiliki (to have) karena bukan gelar dan bukan jabatan.

Untuk masing-masing peran dan panggilan kemanusiaan itu, kita (manusia) perlu belajar tentang, belajar menjadi dan belajar menyatakan diri dalam arti mengembangkan kemampuan (ability) dalam menerima dan menunaikan sejumlah tanggung jawab (respon + ability).

Pembelajar muncul di pagi hari, pemimpin muncul di siang hari, dan guru memainkan peranan di sore/malam hari.

Bila kita belum mampu menunaikan tanggung jawab sebagai pembelajar, maka kita harus mengikuti ujian ulang untuk mata pelajaran yang belum lulus, karena semua itu berlangsung di kehidupan nyata dan sepanjang hidup kita maka ujian ulang itu dapat diikuti sewaktu-waktu, kapan saja kita merasa sudah cukup mempersiapkan diri.

Pembelajar di tingkat dasar

Proses pembelajaran di tingkat dasar pada pokoknya mengarahkan kita untuk bertumbuh menjadi pemimpin, mencapai tahap merdeka dan berdaulat (independence) menjadi dewasa, dan mengalami apa yang disebut covey sebagai kemenangan pribadi (personal victory).

Kualitas seorang pembelajar tidak diukur dengan membandingkannya dengan pembelajar-pembelajar yang lainnya. Ia yang actual diperhadapkan pada dirinya yang potensial.

Pemimpin di tingkat menengah

Pemimpin itu adalah mereka yang melayani kelompok dan organisasinya, atau melayani apa yang biasa disebut sebagai stakeholders dan konstituennya. Pemimpin melakukan pelayanan tersebut dalam rangka pembagian peran dan tanggung jawab untuk menciptakan masa depan bersama – yakni transformasi kelompok dan organisasi – kearah yang lebih baik dan lebih manusiawi.

Ruang lingkup kepemimpinan atau circle of influence bias berbeda-beda keluasan dan kedalamannya, dan itu lebih bergantung pada kemauan untuk menembus batas dari pembelajar menjadi pemimpin, bukan pada keunggulan atau kecerdasan IQ.

Guru di tingkat tinggi

Sang guru adalah pendamping utama kaum pembelajar, orang-orang muda dan benih-benih kehidupan masa depan, dalam proses menjadi pemimpin.

Sang guru memainkan peran sebagai actor/aktris pendamping/pembantu yang membuat pemimpin tampak bercahaya sebagai actor/aktris pemeran utama, dan sekaligus membesarkan hati para pembelajar yang untuk sementara menjadi figuran.

Catatan dan ringkasan

Pembedaan ketiga peran, tanggung jawab, dan panggilan kemanusiaan lebih merupakan hasil perenungan pribadi, lebih bersifat instingtif-intuitif.


VI. Paradigma Pembelajaran di era Internet

Plato mengatakan bahwa “ sesuatu yang diciptakan tentunya untuk suatu sebab”. Suatu sebab itulah yang dimaksudkan plato sebagai paradigma.

Joel Arthur Barker mengususlkan definisi paradigma adalah seperangkat peraturan dan ketentuan (tertulis maupun tidak) yang melakukan dua hal : (1) ia menciptakan atau menentukan batas-batas dan (2) ia menjelaskan kepada Anda cara untuk berperilaku dalam batas-batas tersebut agar menjadi orang yang berhasil.

Ada tujuh ciri penting dari paradigma, yakni:
1. Paradigma adalah hal yang biasa.
2. Paradigma bersifat fungsional.
3. Pengaruh paradigma membalikan hubungan yang masuk akal anata melihat (seeing) dan mempercayai (believing).
4. Jawaban yang benar hamper selalu lebih dari satu.
5. Paradigma yang terlalu diandalkan (too strongly hold) dapat mengakibatkan kelumpuhan paradigma, suatu penyakit mematikian dari keserbapastian.
6. Kelenturan paradigma merupakan strategi yang paling jitu pada masa tak menentu.
7. Manusia dapat memilih untuk mengubah paradigma mereka.

Adam Smith meringkas paradigma sebagai “suatu asumsi bersama.” Dan ia juga menambahkan bahwa “apabila kita berada di tengah-tengah suatu paradigma, maka sulit untuk membayangkan paradigma lainnya”.

Paradigma, sikap, dan perilaku

Paradigma adalah bingkai (frame) sebuah kacamata. Sementara sikap adalah lensa (glass) kacamata tersebut. Dan kita “melihat” dunia di sekitar kita dengan menggunakan keduanya.

Paradigma juga dapat diilustrasikan sebagai pondasi dari sebuah bangunan, sikap adalah kerangka dari bangunan tersebut, perilaku adalah bangunan itu sebagaimana tampak oleh mata fisik kita.

Paradigma juga dapat dipahami sebagai biji buah durian atau mangga, sikap adalah isinya, dan perilaku adalah kulitnya. Yang lebih dulu tampak adalah kulitnya dan bila dibuka/dikupas segera nampak isinya, baru kemudian bijinya.

Mengubah Sikap

Pelatihan tidak berurusan dengan karakter dan paradigma, sebeb karakter dan paradigma adalah hasil dari proses pembelajaran.

Pelatihan berurusan dengan dengan “learning how to do” (technique) dan “learning to live together” (communication and human relations), sementara pembelajaran berurusan dengan “learning to be”. Pelatihan berurusan dengan kepribadian (personality), sementara pembelajaran berurusan dengan karakter dan paradigma.

Pelatihan yang baik, yang berpijak pada pandangan dasar bahwa “sikap mental adalah dasar dari semua pelatihan”, harus didasarkan pada teori yang tepat dan ini berarti pengajaran yakni “learning how to think” dan “learning how to learn”. “Pelatihan yang baik” akhirnya mengakomodasi proses-proses pengajaran (teori, belajar tentang) dan praktik (belajar) yang mencakup learning how to live together.

Semua itu merupakan proses akumulasi pengetahuan (pengajaran) dalam rangka “pengembangan diri” (personality development) yang harus dibedakan dengan proses “pengembangan diri” (self development) atau “pembentukan karakter” (character building) alias “pergeseran paradigma”.

Pelatihan hanyalah mengubah “sikap terhadap hidup (karir, orang lain, uang dsb)”. “Sikap hidup” hanyalah “bagian dari hidup” dan bukan hidup itu sendiri secara keseluruhan.

Pergeseran Paradigma = Inside out = Metanoia

Meski hidup, paradigma, bingkai kacamata, pondasi bangunan, atau biji durian/mangga tidak dapat dan tidak mungkin “diubah” dalam arti digeser (shift) dengan cara-cara atau teknik-teknik yang “menyenangkan”, namun hal itu masih mungkin digeser, dikembangkan, dan diperdalam. Pergeseran itu beersifat esensial dan eksistensial, sehingga prosesnya pastilah “tidak menyenangkan” yakni melalui disiplin dalam “penderitaan” (suffering).

Pergeseran paradigma dapat terjadi dengan dua cara
1. Dilakukan secara sadar, sukarela, dan proaktif-antisipatif (inside out). Mengikuti pembelajaran atau pendidikan, memperluas wawasan, belajar dari pengalaman masa lalu, membaca, bergaul dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, berusaha mengenali misi dan visi hidup pribadi, dan melakukan kegiatan spiritual adalah proses perluasan paradigma.

Dengan melakukan hal-hal tersebut kita bias berubah dan bergeser serta tercegah dari kemungkinan menjadi lumpuh atau beku (paradigm paralysis), menghindari kemungkinan menjadi status quo, tetapi justru selalu menjadi bagian dari proses reformasi dalam arti evolusioner-gradual, maupun revolusioner total.

2. Dilakukan secara terpaksa atau reaktif (out side in), umumnya tanpa disertai dengan kesadaran karena dipicu oleh berbagai peristiwa traumatis. Kita menggeser paradigma kita agar terhindar dari kegilaan atau berbagai bentuk abnormalitas dan deviasi mental spiritual. Karena paradigma yang kita anut ternyata telah beku atau lumpuh terperangkap pada realitas semu.

Pergeseran atau perubahan paradigma adalah proses pembelajaran atau pendidikan (e-ducare, menggiring ke luar, inside out), proses belajar menjadi, proses belajar to be (being).
Pergeseran atau perubahan paradigma juga dapat disamakan dengan apa yang disebut Peter Senge sebagai “shift of mind” atau metanoia. Dalam bahasa yunani terdiri dari dua kata yaitu meta adalah di atas, di luar. Sedangkan noia yang artinya pikiran. Dalam bahasa agama, metanoia atau shift of mind ini diartikan sebagai penyesalan atau pertobatan . kaarena mendapatkan “intuisi” yang khusus dan pengetahuan yang langsung dari Tuhan.

Didasarkan pada Intuisi dan Keyakinan (Faith)

Menurut Barker, intuisi yakni suatu kemampuan melakukan penilaian dalam membuat sebuah keputusan yang tepat dengan data-data yang tidak sempurana/lengkap.

Keputusan yang mereka pilih secara intuitif itu lebih didasarkan pada faith dan bukan evidence membuat orang-orang ini menjadi perintis dan agen perubahan. Mereka ini adalah orang-orang yang percaya dahulu (believing) dan kemudian dapat melihat (seeing) apa yang dipercayainya menjadi kenyataan.

Diperlukan keberanian dan persisitensi

Para perintis dan agen-agen perubahan, penggeser paradigma, kaum reformis dan reformator sejati di berbagai bidang kehidupan, tidak saja harus memilih hidup berdasarkan keyakinan (faith), tetapi juga mendemonstarsikan keberanian (Courage) disertai ketekunan (Persistence) dalam mengerjakan apa yang diyakininya itu.

Jadi, pergeseran paradigma tidak dapat dan tidak mungkin dilakukan secara “menyenangkan” karena ia mempersyaratkan adanya keyakinan (faith), keberanian (courage), dan ketekunan (persistence, setia samapai mati)

Enam poin penting mengenai paradigma menurut Barker:
1. Persepsi kita mengenai kehidupan ini sangat kuat dipengaruhi oleh paradigma kita.
2. Karena kita menjadi begitu ahli dalam menggunakan paradigma kita yang sekarang maka kita (cenderung) menolak untuk mengubahnya.
3. Biasanya orang-orang luarlah, orang-orang baru yang menciptakan paradigma baru.
4. Para pelaku paradigma lama yang memilih untuk beralih kepada paradigma baru secara dini, harus berbuat demikian sebagai tindakan yang didorong oleh keyakinan, bukan melakukannya sebagai akibat dari adanya bukti yang cukup dan meyakinkan pada tahap-tahap awal.
5. Mereka yang beralih kepada paradigma baru yang berhasil mendapatkan cara baru melihat kehidupan dan mendapatkan pendekatan baru untuk menyelesaikan masalah sebagai akibat mereka kepada peraturan yang lain.
6. Paradigma baru mengembalikan setiap orang ke titik nol, sehingga para pelaku paradigma lama, yang mungkin pernah memperoleh keuntungn besar, akan kehilangan banyak atau kehilangan seluruh kemampuannya.

Era Internet

Berdasarkan laporan hasil survey yang dilakukan di Amerika Serikat, dari segi aktivitas penggunaannya, internet paling banyak dipergunakan untuk 5 hal berikut: (1) surat menyurat (2) mendapatkan berita, (3) sekedar mencari kesenangan, (4) mencari informasi tentang sebuah hobi tertentu, (5) mengetahui cuaca hari tersebut dan penelitian sehubungan dengan suatu pekerjaan.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa :
1. Sekitar 90 juta orang Amerika telah menggunakan (belajar melakukan, pelatihan) untuk menjalankan berbagai aktivitas mereka dengan menggunakan teknologi komunikasi informasi yang canggih tersebut.
2. Sebagian besar warga saiber itu menggunakan internet untuk mencari, mengirimkan, dan menerima berbagai bentuk informasi, dan dengan demikian memperbanyak pengetahuan mereka (belajar tentang, pengajaran).
3. Dengan kemampuan untuk membantu setiap orang pengguna internet untuk belajar (praktik) dan belajar tentang (teori), maka dapat dipastikan bahwa internet akan mengubah “sikap hidup” dan “ketrampilan untuk hidup” semua penggunanya.

Dampak Internet bagi Pembelajaran

Internet hanya dapat memintarkan (visi pengajaran) dan membuat orang menjadi terampil (visi pelatihan).

Internet merupakan sebuah alat (objek) yang ampuh dan (telah dan akan) mengubah sikap hidup banyak orang di seluruh dunia secara hampir bersamaan waktunya, terutama karena kemampuannya mempercepat proses-proses pengajaran (transfer pengetahuan) dan pelatihan.

Internet tidak dengan sendirinya dapat “menggeser paradigma” seseorang, tidak otomatis akan membuat seseorang mengalami metanoia atau shift of mind.

Internet memberikan dampak signifikan dalam mengubah “kepribadian” para penggunanya, karena mereka dapat menampilkan berbagai bentuk “citra diri semu” dan “tampilan kepribadian” yang disesuaikan dengan kepintaran dan hasrat-hasrat penggunanya.

Internet akan dapat membuat proses-proses pengajaran dan pelatihan menjadi jauh lebih “menyenangkan” dan jauh lebih mudah karena berbagai informasi, data, dan pengetahuan dapat diperoleh secara instant, dalam hitungan detik atau dengan kecepatan orang berpikir (at the speed of thought), dan dengan biaya relatif jauh lebih murah.

Internet akan sangat mempengaruhi penggunaan dan pengembangan akal dan otot para penggunanya, di mana orang-orang yang mampu menggunakan akal akan memperoleh kenikmatan hidup yangf lebih besar ketimbang yang tetap mengandalkan ototnya.

Dengan demikian dampak internet bagi proses pembelajaran dan pendidikan adalah nol besar. Artinya, internet tidak akan mampu mengubah apa yang disebut Erich Fromm sebagai “orientasi dan devosi” yang merupakan kebutuhan tertinggi manusia, tidak akan mampu mebuat orang menjadi lebih teraktualisasikan dirinya.

Kembali ke rumah dan Kehidupan nyata

Dampak internet yang utama adalah mengembalikan pengajaran dan pelatihan dari “luar rumah” ke “dalam rumah”, dan pada saat yang bersamaan juga memungkinkan terjadinya perpindahan lokasi bekerja dari “luar kantor” ke “dalam rumah”.

Internet tidak akan mampu “menggeser paradigma”, karena tidak menjangkau “hati nurani”, dan “esensi dan eksistensi” jiwa manusia pengguna internet itu sendiri.

Jadi, dapat ditegaskan bahwa dari segi pembelajaran, dampak internet adalah menggugah kembali kesadaran bahwa pendidikan atau pembelajaran merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua dan masyarakat luas dalam kehidupan nyata (real life, bukan virtual life) yang salah satu/sebagian komponennya itu adalah lembaga-lembaga bernama sekolah, universitas, dan perusahaan/kantor.

Catatan dan ringkasan

Prinsip-prinsip pembelajaran mengajarkan bahwa belajar tentang dan “belajar bagaimana cara belajar yang baik” (pengajaran;formal), serta belajar melakukan dan “belajar bagaimana hidup bersama” (pelatihan;informal) dapat dilakukan di sekolah, universitas, dan kursus-kursus. Akan tetapi belajar menjadi hanya dapat dilakukan dengan melibatkan diri, mengaktualisasikan diri, “mengeluarkan diri”, melalui proses informal di masyarakat dan dalam kehidupan nyata.

Internet bisa jadi menjanjikan berbagai jalan pintas (shortcut) untuk menjadi kaya raya, berkuasa dan menguasai informasi dan pengetahuan dan “berkepribadian” sehingga “laku dijual” dan dapat “siap pakai” tetapi tidak menjanjikan bahwa dunia akan menjadi lebih baik dalam arti lebih manusiawi, berkarakter, dan “siap hidup”.






Bagian kedua “Proses Menjadi”

VII. Menjadi Manusia Pembelajar
Sekilas tentang proses pendewasaan, pemberdayaan dan pemerdekaan diri

Tugas, tanggung jawab, dan panggilan pertama dan terutama bagi setiap manusia adalah belajar menjadi seseorang yang bertanggung jawab untuk hanya menjadi dirinya sendiri dan bukan orang yang lain (learning to become a person who wants to be just her/him self and nothing more).

Bila seorang anak manusia menolak tugas, tanggung jawab dan panggilan untuk menjadi dirinya sendiri maka ia telah kehilangan pondasi untuk menjadi manusiawi.

Manusia pembelajar yang ingin naik tingkat menjadi seorang pemimpin harus bergerak dari paradigma “anda” ke paradigma “saya”, dan harus berproses menjadi tanggung jawab (being responsible).

Pergeseran paradigma dari “Anda bertanggung jawab” menjadi “saya bertanggung jawab” karena Anda bukan saya dan saya bukan anda. Anda bertanggung jawab untuk menjadi diri anda, dan saya bertanggung jawab untuk menjadi diri saya sendiri.

Mata Kuliah Dasar Umum

Bagi orang-orang yang berniat sungguh-sungguh menjadi manusia pembelajar, ia harus lulus ujian “mata kuliah” bertanggung jawab menjadi dirinya. Bila tidak, ia harus mengulang kembali pelajaran yang sama dan menempuh “ujian” berikutnya. Hanya saja ia mendapatkan kesempatan untuk mengikuti ujian ulang tanpa batas waktu yang pasti hingga akhir hayatnya.

Belajar bertanggung jawab untuk menjadi diri sendiri berarti menjadi pengendali bagi lingkungan atau dalam bahasa Stephen R. covey “menjadi proaktif”.

Kita memiliki kemampuan untuk mengambil inisiatif, untuk menunjukan tanggung jawab terhadap setiap gagasan, kata, dan tindakan kita, apapun konsekuensi yang ditimbulkannya.

Proaktivitas adalah kemampuan manusiawi untuk setiap orang, memungkinkan kita menolak tegas dikendalikan oleh hal-hal diluar diri kita sendiri, diluar keyakinan dan nilai-nilai yang kita yakini sebagai benar dan bersifat esensial.

Pengetahuan diri, kemauan untuk itu dan ketekunan

Tugas dan panggilan untuk menerima tanggung jawab demi menjadi diri sendiri pada esensinya membutuhkan tiga hal penting yaitu : (1) pengetahuan atau pengenalan diri, (2) kemauan kuat untuk hanya menjadi diri sendiri dan (3) ketekunan atau pesistensi.

Tentang pengetahuan/pengenalan diri, Warren Bennis berhasil merangkum empat pelajaran yang sangat penting untuk dapat memliki pengetauan diri.
1. Anda adalah guru terbaik bagi diri Anda sendiri.
2. Terimalah tanggung jawab, jangan menyalahkan siapa pun.
3. Anda dapat belajar apa pun yang ingin anda pelajari.
4. Pengertian yang benar berasal dari pencerminan dalam pengalaman anda.

Dalam hal menjadi diri anda, tidak seorang pun yang bisa mengajarkan atau melatihkannya. Menjadi diri sendiri itu berarti pembelajaran atau pendidikan.

Setiap orang itu otentik, orisinal, dan bukan tiruan. Tuhan terlalu kreatif untuk menciptakan dua insan yang sama persis seratus persen.

Bila seseorang selalu menolak tangung jawab atas kata dan perbuatannya sendiri, maka apakah ia kecuali sekadar “robot” dan “korban”.

Tugas panggilan pertama manusia itu memang untuk belajar menjadi, dalam proses belajar menjadi dirinya itu, setiap orang dapat belajar tentang (teori), “belajar tentang bagaimana belajar tentang” (learning how to learn), juga “belajar bagaimana melakukan” (learning how to do, praktik, cara, kiat), dan “belajar bagaimana hidup bersama” (learning how to live together).

Pengalaman sebagai suatu hal yang nyata belumlah mencerminkan potensi seseorang sebagai sesuatu yang masih “belum dinyatakan sepenuhnya”. Pengalaman sebagai suatu sejarah berarti sudah mati, tetapi manusia sebagai pelaku sejarah yang hidup masih bias berproses maju menuju hakikat diri dan mengekspresikan berbagai kemungkinan yang baru di masa depan. Jadi pengalaman hanyalah mencerminkan sebagian dari diri seseorang, bukan keseluruhannya.

Menjadi diri sendiri harus dijadikan tujuan tertinggi dalam hidup pribadi seorang anak manusia. Ia harus menetapkan tujuan tersebut berdasarkan kemauan yang kuat.

Merancang Bangunan Kehidupan Pribadi

Seorang sebagai pembelajar perlu belajar merancang desain kehidupannya sendiri dengan belajar untuk bertindak sebagai seorang sutradara, arsitek atau programmer bagi sinetron, rumah atau program masa depannya sendiri. Ia perlu belajar untuk memilih arah kehidupannya, mendefinisikan realitas pribadinya, merumuskan nilai-nilai pribadinya dan menetukan strategi hidupnya sendiri.

Ia perlu belajar untuk menolak rasa rendah diri (inferiority complex) atau kesombongan (superiority complex), berusaha keras membangun kepercayaan diri (self esteem, self confidence) yang sehat sebagai makhluk ciptaan yang unik dan tak terbandingkan.

Berani menyatakan Perbedaan

Pembelajar belajar menjadi pemberani (courageous) dalam arti menerima perbedaan sebagai suatu kenyataan yang wajar dan manusiawi, serta pantas disyukuri dan bukan disesali, apalagi ditiadakan.

Ia perlu belajar untuk mengatasi kecenderungan diri untuk bersikap reaktif, berani mengakui kesalahan dan kekhilafannya, berani bertindak sesuai dengan hati nuraninya sendiri, berani mengatakan apa yang diyakininya sebagai benar, tidak melacurkan karakter dan prinsip, berani menerima dirinya (self acceptance), menghargai dirinya (self respect), mempercayai dirinya (self confidence), dan mengarahkan dirinya (self direction) untuk menjadi otentik dan sejati atau menjadi diri sendiri (be him/her self), mengekspresikan diri sepenuhnya, seutuh-utuhnya, apa pun resiko dan konsekuensinya.

Tuhan, Diri sendiri dan Sesama

Manusia pembelajar merasa bertanggung jawab kepada Tuhan, yang menganugerahinya roh, jiwa, dan tubuh, yang membekalinya dengan nurani (moralitas), akal budi (rasionalitas), dan kemauan atau hasrat (untuk beraktivitas).

Ia juga bertanggung jawab kepada dirinya sendiri untuk mengekspresikan dirinya secara utuh dan penuh, untuk memerdekakan potensinya itu, mengeluarkannya dan mengaktualisasikan dirinya, untuk menguasai dirinya, mengontrol dan mengendalikan diri (self mastery).

Manusia pembelajar bertanggung jawab kepada sesama manusia, kepada masyarakat sekitarnya berkaitan dengan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial.


Mengatasi ketidakmampuan belajar

Ketidakmampuan belajar ini, menurut Peter Senge disebabkan oleh identifikasi diri bahwa “saya adalah posisi saya”. Identifikasi diri dalam bentuk “saya adalah posisi saya” pada dasarnya pararel dengan identifikasi diri dengan benda-benda yang banyak dilakukan oleh para promotor dan pemasar, yang menjadi biang kerok proses dehumanisasi manusia menjadi sekadar benda atau alat produksi atau pengkonsumsi yang rakus seperti celeng.

Ketidakmampuan belajar disebabkan oleh ketertutupan pikiran (close mind, irrasionalitas), kebebalan nurani (immoralitas), dan hilangnya kendali terhadap “kuda liar” atau “lubang tanpa dasar” dari kemauan atau hasrat (aktifitas agresif).

Menjadi manusiawi

Pembelajaran sebenarnya mendapatkan inti artinya untuk menjadi sangat manusiawi (humanis). Melalui pembelajaran kita menciptakan kembali diri kita. Melalui pembelajaran kita dapat melakukan sesuatu yang tidak pernah dapat kita lakukan sebelumnya. Melalui pembelajaran kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut. Melalui pembelajaran kita memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan.

Tugas, panggilan pertama dan terutama bagi setiap manusia adalah belajar menjadi seseorang yang bertanggung jawab untuk hanya menjadi dirinya sendiri dan bukan yang lain. Itulah jalan menuju pemberdayaan, pemerdekaan dan kedaulatan diri.

Komitmen seorang manusia pembelajar


VIII. Menjadi Pemimpin sejati
Sekilas tentang kepemimpinan etis-visioner abad ke-21

Bila seorang anak manusia menolak tugas, tanggung jawab dan panggilan untuk menjadi pemimpin sejati, maka ia telah kehilangan kesempatan untuk; pertama, menjadi lebih manusiawi, kedua, menciptakan sebuah organisasi pembelajar.

Menurut Rendra “….kesejatian manusia adalah kesatuan roh dan badan. Dan, perbuatan yang penuh kesejatian adalah perbuatan yang mencerminkan kesatuan roh dan badan”.

Makna kesejatian menjadi tak terpisahkan dengan integritas (sisi positif) dan kemunafikan (sisi negative).

Salah satu definisi integhritas adalah “ maintaining social, ethical, and organizational norm, firmly adhering to code of conduct and ethical principle”. Diterjemahkan menjadi tiga tindakan kunci (key action) yang dapat diamati (observable).
1. Menunjukan kejujuran (demonstate honesty), yaitu bekerja dengan orang lain secara jujur dan benar, menyajikan data dan informasi secara lengkap dan akurat.
2. Memenuhi komitmen (keeping commitment), yaitu melakukan apa yang telah dijanjikan, tidak membocorkan rahasia.
3. Berperilaku secara konsisten (behave consistenly), yaitu menunjukan tidak adanya kesenjangan antara kata dan perbuatan.

Kesejatian dan integritas adalah persoalan pertama dan terutama yang perlu diperhatikan dalam soal-soal kepemimpinan.

Teka-teki kepemimpinan

Kepemimpinan menurut William Cohen adalah seni mempengaruhi orang lain untuk melakukan unjuk kerja maksimum guna menyelesaikan suatu tugas, mencapai suatu tujuan atau menyelesaikan suatu proyek.

Menurut Max DePree, kepemimpinan adalah musik yang keluar dari hati. Ia bukanlah sebuah jabatan (a position) tetapi sebuah pekerjaan ( a job ).
Seni kepemimpinan adalah memerdekakan orang untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan dengan cara paling efektif dan semanusiawi mungkin.

Apa dan bagaiamana pun kepemimpinan di definisikan, sejumlah kata yang paling banyak digunakan adalah : visi, tujuan, sasaran, hasil ; misi, nilai-nilai, keyakinan ; strategi, ketrampilan, kemampuan ; pengikut, konsituen ; pengaruh, otoritas, kekuasaan ; motivasi, inspirasi, energi, daya dorong ; relasi, kontrak, transaksi, transformasi ; pemberdayaan, pemerdekaan, potensi.

Kepemimpinan adalah kemampuan menetapkan suatu arah yang dapat dirasakan (a sensible direction), membuat orang-orang menyelaraskan diri kearah itu, dan memberi mereka kekuatan (energizing them) untuk mencapainya dengan cara apa pun. Definisi menurut John P. Kotter.

Menurut Edwin A. Locke, kepemimpinan adalah proses membujuk (inducing) orang-orang lain untuk mengambil langkah menuju sasaran bersama.

Menurut Kauzes and Posner, kepemimpinan adalah suatu hubungan timbal balik antara mereka yang memilih untuk memimpin dan mereka yang memutuskan untuk mengikuti.

Paradigma kepemimpinan abad ke-21

Dulu konsep-konsep kepemimpinan itu di dominasi dan diletakan dalam konteks kekuasaan dan otoritas yang tak boleh dibantah, serta suatu struktur hirarkis dalam organisasi formal.

Belakangan konsep-konsep kepemimpinan lebih bernuansa cultural, a-hirarkis (tidak melulu dikaitkan dengan hirarki), dan otoritas yang bersifat relative dan kontraktual, sehingga bisa diperdebatkan dan digugat.

Karena kepemimpinan adalah urusan semua orang, maka kita dapat membedakan efektifitas kepemimpinan berdasarkan ruang lingkup pengaruhnya (circle of influence) menjadi lima tingkatan berikut:
Kepemimpinan personal – individual
Kepemimpinan interpersonal – kelompok – grup
Kepemimpinan organisasional – korporat
Kepemimpinan nasional – regional
Kepemimpinan internasional – global

Siapakah sang pemimpin?

Pemimpin adalah manusia. Tetapi tidak semua manusia itu pemimpin.

Pemimpin adalah orang-orang yang mampu mengekspresikan diri sepenuhnya…..proses menjadi seorang pemimpin pada dasarnya adalah proses menjadi seorang manusia seutuhnya….. menjadi pemimpin berarti menjadi diri sendiri…..untuk bekerja para pemimpin tidak memerlukan apa-apa selain diri mereka sendiri.

Menurut Bennis, membedakan pemimpin dengan yang bukan pemimpin, pada pokoknya terletak dalam dua hal dasar:
1. Para pemimpin itu sependapat bahwa menjadi pemimpin memerlukan usaha, bukan sekadar bakat dari lahir dan lebih banyak dibentuk oleh diri sendiri dari pada oleh hal-hal eksternal.
2. Para pemimpin itu sepakat bahwa tidak ada pemimpin yang menyatakan dirinya pemimpin, tetapi sebaliknya mengekspresikan diri secara bebas dan sepenuhnya.

Pemimpin adalah ia (mereka) yang relatif telah menemukan jawaban terhadap tiga pertanyaan eksistensial “siapakah aku?”, “kemanakah aku pergi?”, dan “ apakah yang harus / dapat aku lakukan (tanggung jawabku) dalam hidup ini?”. Ia (mereka) adalah orang-orang yang siap untuk mendemonstrasikan kebenaran sederhana ini; satu orang biasa dapat membuat perbedaan besar.

Jendral Norman Schwartzkoft menyatakan, “pemimpin yang besar adalah manusia biasa yang mempersiapkan diri ketika peristiwa luar biasa tiba”.

Menjadi Visionaris

Seorang calon pemimpin harus kita yakini memiliki visi-misi-nilai-strategi hidup pribadi yang jelas. Ini pertanda bahwa ia adalah manusia pembelajar.

Meminjam konsep covey, visionaris itu adalah mereka yang telah mengalami personal victory dengan membiasakan diri bersikap proaktif, terbiasa memulai aktivitas dengan membayangkan hasil akhirnya dalam pikiran, dan terbiasa mendahulukan hal-hal utama, serta terbiasa untuk memperbaharui diri secara terus menerus.

Visionaris juga menunjuk kepada orang (-orang) berprinsip, berkarakter terpuji, yang perilaku dan sikapnya menunjukan hati nurani yang belum terpolusi atau telah mengalami metanoia, yang rasional, dan yang mampu mendisiplinkan hasrat-hasrat liarnya secara ketat.

Visionaris, suatu ketidakpuasan yang mendalam mengenai realitas faktual masa kini yang dibarengi dengan suatu pandangan yang amat tajam mengenai kemungkinan menciptakan realitas baru di masa depan, yang secara mendasar lebih baik.

Visi memberikan inspirasi, menggugah emosi, membangkitkan antusiasme, dan menyuntikan motivasi.

Shared vision statement sebuah organisasi menjadi alasan utama para konstituen, para stakeholders bersepakat untuk mendukung atau tidak mendukung kiprah sebuah organisasi, termasuk Negara.

Visi ibarat Emas

Kedalaman sebuah visi utamanya ditentukan oleh seberapa jauh ia menyentuh dimensi-dimensi kehidupan manusia sebagai makhluk yang memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik jasmaniah, kebutuhan-kebutuhan mental psikologikal rohaniah dan kebutuhan-kebutuhan berdimensi sosial budaya.

Manusia-manusia visioner tidak dikenal semata-mata dan terutama karena visinya itu, tetapi lebih karena visi itu membuatnya bergerak, bertindak secara nyata, bekerja keras, rajin dan tekun, serta mendisiplinkan diri untuk melakukan dan mendahulukan aktivitas-aktivitas yang penting berdasarkan skala prioritas yang jelas.

Pengorbanan dan kerja keras diperlukan untuk mewujudkan sebuah visi. Dan semakin besar cakupan kepentingannya, semakin dalam dimensi kemanusiaan yang dikandungnya.

Memiliki visi berarti “Hamil”

Keputusasaan, pesimisme, dan apatisme adalah indikator paling sahih untuk ketiadaan visi bersama, kebutaan psiko spiritual yang berpotensi untuk “membunuh” keyakinan dan harapan tentang kemungkinan menjadi lebih baik.

Meiliki visi berarti berada dalam keadaan “hamil”. Visi itu adalah “janin” dalam kandungan seseorang atau sekelompok orang, yang menandakan akan lahirnya suatu realitas baru di masa depan, suatu situasi dan kondisi yang lebih baik, yang lebih manusiawi.

Seseorang yang memiliki visi tentang suatu kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang, relatif telah memiliki “segala hal” yang diperlukan untuk membangun harapan, untuk mengembangkan keberanian dan ketabahan dalam memperjuangkan visinya agar “dilahirkan” ke dunia nyata pada waktunya.

Dalam hal mana tetap berlaku suatu dalil bahwa besarnya dukungan terhadap sebuah visi bergantung pada eksistensi dan intensinya.

Komitmen seorang pemimpin sejati
IX. Menjadi Guru Bangsa
Sekilas tentang “penciptaan” Masyarakat Pembelajar

Tugas dan panggilan tertinggi seorang anak manusia adalah menjadi manusia guru. Ia bertanggung jawab untuk menciptakan suatu masyarakat pembelajar yang melahirkan pemimpin-pemimpin baru bagi sebuah bangsa, bagi bangsa-bangsa, dan bagi umat manusia di masa depan.

Guru adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan dan menerima tugas dan tanggung jawab tertentu yang terutama berkaitan dengan kepentingan suatu masyarakat bangsa dan kemanusiaan universal.

Guru Bangsa: Soekarno, Hatta, dan Syahrir

Tujuh kriteria dasar “Guru Bangsa”
1. Mereka adalah orang-orang yang melepaskan kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasi primordialnya untuk mengabdi dalam kancah memperjuangkan kepentingan sebuah Negara kebangsaan dan bahkan kemanusiaan universal.
2. Perjuangan mereka pada dasarnya dilandasi oleh semangat anti kekerasan, karena mereka amat mencintai perdamaian.
3. Mereka secara konsisten melandaskan sikap hidup dan perbuatannya pada keyakinan nurani (faith conscience) dan bukan hanya pada ilmu pengetahuan (ratio) maupun kerja keras (will power).
4. Karena sikap hidup dan perbuatan mereka selalu diarahkan dari dalam (conscience anda faith), maka tiga hal dasar yang selalu menjadi fokus perhatian mereka adalah kebenaran, keadilan, dan cinta kasih dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.
5. Pusat perhatian mereka tidak hanya menciptakan suatu Negara kebangsaan (identitas politik), tetapi lebih dari itu, menciptakan suatu komunitas masyarakat manusia yang memperlakukan dan diperlakukan semanusiawi mungkin.
6. Dalam setiap perjuangannya mereka tidak menganggap kedudukan, harta, dan kekuasaan sebagai tujuan akhir, tetapi lebih menganggap semua itu sebagai sarana untuk suatu maksud yang lebih mulia.
7. Perjuangan mereka secara langsung maupun tidak, selalu melahirkan dan menumbuhkembangklan penghargaan masyarakat tentang kemungkinan terciptanya masyarakat manusia yang lebih manusiawi di masa depan.

Jika pemimpin sejati menciptakan batas-batas antara “kami” dan yang “bukan kami”, maka guru bangsa menembus batas-batas tersebut dengan selalu menjadikan dirinya sebagai bagian dari “kita”.

Guru Bangsa-Bangsa: Aquino, Huntington, dan Mandela

Bila seorang “guru bangsa” memberikan pengaruh pada tingkat sebuah Negara bangsa, maka “guru bangsa-bangsa” menembus batas-batas “politis” semacam itu. Baik dalam ucapan maupun tidakannya, mereka dengan jelas memberikan inspirasi yang menembus batas-batas Negara kebangsaan, dalam arti politis, ekonomi, maupun sosial budaya (sosiologis). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang “guru bangsa-bangsa” pastilah “guru bangsa”, tetapi belum tentu sebaliknya.

Guru Umat Manusia

Mereka adalah segelintir orang yang selalu berusaha mengingatkan umat manusia di mana pun, kapan pun, dan dari latar belakang yang bagaimana pun, akan kehidupan yang akan datang, yakni kehidupan sesudah kematian.

Baik ucapan maupun tindakan mereka mencerminkan suatu sikap hidup yang nyaris sempurna atau bahkan sempurna dalam arti sepenuhnya diarahkan oleh hati nurani yang bersih, penalaran yang sehat, dan kehendak yang tunduk pada hukum-hukum Tuhan.

Mereka yang sampai ke tahap menjadi “guru umat manusia” ini adalah orang-orang yang diyakini sebagai pembentuk sejarah peradaban dunia sejak ribuan tahun lalu.

Peluang emas menjadi guru bangsa di Indonesia

Indonesia sedang berada dalam situasi yang memberikan peluang emas terhadap lahirnya “guru bangsa” dan “Guru bangsa-bangsa” di era millennium ketiga.

Lengkap dan Utuh

Menjadi manusia guru, itulah tugas dan panggilan tertinggi seorang anak manusia. Dan, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa hanya segelintir orang yang mampu membawa dirinya sampai ke tahap itu. Hanya segelintir orang yang benar-benar “lengkap” dan menjadi manusia (Indonesia) seutuhnya.

Komitmen Seorang guru bangsa


Diresensi oleh : Sri Hendana

Tidak ada komentar: